Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Beranda > Artikel > Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Oleh Aziza Restu Febrianto, S.Pd., M.A. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unkartur

Artikel ini merupakan hasil refleksi penulis selama tiga tahun terakhir menggunakan ChatGPT, sebuah platform kecerdasan buatan (AI) yang paling populer di Indonesia. Pasca kepopuleran ChatGPT, berbagai platform serupa bermunculan dengan beragam tujuan dan kegunaannya. Saat ini, AI tidak hanya digunakan untuk menghasilkan tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video, suara, dan musik beserta liriknya (multimodal). Tentunya, teknologi ini tidak akan berhenti berkembang di sini; ia akan terus berinovasi dan memasuki spektrum baru, seperti yang sudah terjadi sejauh ini. Perkembangan ini sungguh luar biasa.

Namun, perkembangan AI tidak lepas dari dilema pro dan kontra. Banyak pihak merasa resah karena dampak AI telah merambah hampir semua sektor kehidupan, termasuk dunia industri dan pendidikan. Di beberapa sektor usaha dan industri, AI telah menggantikan posisi karyawan manusia. Sebagai contoh, di industri kreatif seperti desain komunikasi visual dan musik, tenaga manusia kini banyak digantikan oleh AI yang bahkan dapat bekerja lebih menarik, efektif, dan efisien.

Sektor pendidikan juga mengalami kondisi yang tidak kalah meresahkan. Bagaimana tidak? Banyak siswa yang memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka (cheating). Di satu sisi, AI sangat membantu mereka untuk mempelajari banyak hal secara instan dan cepat, namun di sisi lain, AI juga membuat mereka menjadi bergantung dan mengganggu proses pembelajaran. Dulu, orang mengandalkan mesin pencari informasi (seperti Google), tetapi kini mereka cukup menggunakan AI yang dapat memberikan informasi secara langsung hanya dengan bertanya. Jawabannya pun hampir selalu sesuai dengan harapan dan cukup akurat, meskipun tidak 100% tepat, terutama untuk hal-hal yang umum. Seperti yang dikatakan oleh Jensen Huang, CEO Nvidia, “AI is a layer above the internet” atau AI merupakan lapisan baru di atas internet. Menurutnya, AI membuat orang menjadi “superhuman”; membantu manusia menyelesaikan masalah dan menciptakan inovasi serta penemuan baru secara efektif dan efisien.

Ketika saya menjadi salah satu narasumber dalam acara rutin Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Guru Bahasa Inggris se-Kota Semarang, hampir semua guru peserta sudah sangat familiar dengan AI. Mereka memandang AI sebagai dua sisi mata pisau: sangat membantu pembelajaran, tetapi juga mengancam pembelajaran. Dilema ini juga dirasakan oleh para dosen dan peneliti di bidang pendidikan. Pada 7-8 November 2024 lalu, saya dan kolega saya, Pak Allvian Ika Fiki Susanto, S.Pd., M.Pd. mengikuti sebuah konferensi internasional di bidang English Language Teaching (ELT) atau pengajaran bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Salah satu pembicara utama (keynote speaker), Prof. Paul Kei Matsuda, menekankan bahwa, “Jangan anggap AI sebagai ancaman atau musuh, tetapi bertemanlah dengannya. Itu adalah pelengkap hidup kita.”

Meskipun demikian, masih banyak guru dan dosen yang khawatir dengan penggunaan AI karena berbagai alasan. Menurut saya, kekhawatiran ini adalah hal yang normal, karena mereka harus memikirkan strategi mengajar yang berbeda dari yang selama ini mereka terapkan. Mereka harus terus belajar hal-hal baru, tanpa henti—ya, belajar tanpa henti—karena teknologi akan terus berkembang dengan sangat pesat. Jika para pendidik tidak terus belajar sebagai lifelong learners, maka mereka akan tertinggal dan tersingkir oleh perubahan, dan cara mengajar mereka pun tidak akan mudah diterima oleh peserta didik. Mungkin ini adalah konsekuensi sekaligus hikmah dari perkembangan teknologi itu sendiri.

Pembelajaran bahasa pun mungkin sudah bergeser secara signifikan: jika dulu siswa diajarkan tentang grammar dan cara menyusun kalimat, paragraf, serta esai secara mendalam, kini pembelajaran lebih fokus pada peningkatan literasi, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah melalui keterampilan komunikasi bahasa. Prof. Paul Kei Matsuda juga menyampaikan bahwa jika pembelajaran berfokus pada komunikasi, terutama komunikasi lisan, pengetahuan grammar tidak perlu sempurna. Dengan demikian, semua akan kembali pada substansi dan esensi belajar bahasa itu sendiri, yaitu bahasa hanyalah alat untuk menguasai ilmu pengetahuan, berkomunikasi dengan dunia, dan turut serta dalam mencari solusi permasalahan melalui keterampilan komunikasi. Saya rasa konteks pembelajaran bahasa ini tidak jauh berbeda dengan bidang ilmu lainnya.

Teknologi AI juga akan memungkinkan pendidik untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan karakteristik peserta didik mereka. Dengan demikian, pendidik dapat mengetahui cara mendidik dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan kebutuhan mereka. Penggunaan AI yang masif ini juga memungkinkan pendidik untuk membedakan peserta didik yang serius belajar dengan yang tidak. Mereka yang tidak serius akan selalu mengandalkan AI untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan kepada mereka. Sedangkan mereka yang serius akan memanfaatkan AI sebagai alat untuk mempercepat pengetahuan dan keterampilan mereka.

Perbedaan kedua jenis peserta didik ini dapat dilihat dari dua aspek dalam diri mereka, yaitu orientasi hidup (self-orientation) dan rasa penasaran (curiosity). Peserta didik yang baik pasti memiliki kedua aspek ini dengan kuat, sehingga mereka tidak akan mudah percaya pada hasil kerja AI dan justru akan mempelajari kinerja AI tersebut serta menantang keakuratannya dengan membandingkan dengan sumber lain yang mereka temukan. Peserta didik seperti inilah yang kita harapkan, karena mereka telah memiliki kesadaran autonomous learning atau pembelajaran mandiri, yang sejatinya merupakan tujuan akhir dari pendidikan (the ultimate goal of education).

Pada akhirnya, tugas pendidik (guru dan dosen) bukan hanya sebagai fasilitator pembelajaran, tetapi juga sebagai pelatih (coach): memberikan motivasi dan inspirasi agar peserta didiknya dapat menumbuhkan kesadaran akan autonomous learning dan independent learning dalam diri mereka. Pemikiran ini juga sejalan dengan substansi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Paul Kei Matsuda tentang peran guru di abad 21 pada acara konferensi yang saya ikuti tersebut.

Leave a Reply

three × 5 =