Di Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 377/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perekam Medis, memuat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang Perekam Medis dan Informasi Kesehatan sebagai bentuk profesionalisme dalam bidangnya. Salah satu kompetensi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan sesuai standar profesi yaitu klasifikasi dan kodifikasi penyakit, masalah – masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis, dalam hal ini Perekam Medis dituntut untuk mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10) tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen kesehatan.
Dalam sistem CBG’s ketepatan petugas rumah sakit dalam melakukan pengkodingan terhadap diagnosis dan prosedur yang dilakukan selama perawatan pasien akan berpengaruh terhadap besaran klaim yang diterima. Petugas rumah sakit, dalam hal ini coder, sangat mungkin melakukan upcoding maupun undercoding apabila tidak mampu menerjemahkan kondisi medis kedalam bahasa ICD yang digunakan sebagai dasar pengkodingan.
Akibatnya rumah sakit dimungkinkan untuk mendapat pembayaran lebih rendah dari yang seharusnya bila terjadi undercoding dan sebaliknya bila terjadi upcoding. Salah kode diagnosis dalam input data rekam medis di rumah sakit dapat menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar. Kode diagnosis yang menjadi salah satu variabel penghitungan biaya pelayanan rumah sakit, menghadapi tantangan akibat berlakunya sistem INA-CBGs. Sistem INA-CBGS yang mengelompokkan ragam penyakit dalam kelompok tertentu menciptakan kesulitan dalam sistem pengkodean diagnosis sehingga berdampak pada penghitungan biaya rumah sakit. Jika kode tidak akurat akan berkaitan dengan uang. Jika kode diagnosis tidak lengkap, maka pembayaran tidak sesuai dengan tindakan. Jika kode salah, maka pembayaran akan salah.
Keakuratan kode diagnosis itu penting. Khususnya terkait dengan pembayaran klaim oleh pihak rumah sakit, apalagi di era BPJS nanti yang setiap warga akan terjamin dalam asuransi kesehatan dan pembayaran dilakukan oleh BPJS. Di Indonesia, sistem yang dikenal dengan nama INACBG’s (Indonesia Case Base Group) ini merupakan sistem pengendalian biaya pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem kesehatan menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan kesehatan serta mekanisme pembayaran pasien berbasis kasus campuran.
Kesalahan umum dilakukan coder antara lain memasukan informasi yang salah sebagai akibat kesalahan memutuskan apa yang seharusnya dikoding, salah membaca rekam medis dan kesalahan typographical. Selain itu juga adanya keputusan bersifat ambigu seperti coder tidak mendapat informasi yang akurat. Hal ini bisa kita lihat dari pengalaman sebagai Coder yang masih kurang dari 5 tahun. Selain itu banyaknya Coder muda ini juga belum pernah mendapatkan pelatihan koding khususnya mengenai tehnik koding yang berskala nasional.
Pengalaman penting bagi Coder dalam penetapan kode menggunakan ICD 10 untuk mengkode diagnosa, prosedur, dan pelayanan yang tercatat di dalam dokumen rekam medis serta membuat data statistik mengenai utilisasi dan penelitian. Selain masalah tersebut penyebab utama kesalahan dalam melakukan koding adalah tulisan dokter yang sulit dibaca. Selain itu tulisan dokter pada dokumen rekam medik yang tidak lengkap menyebabkan mereka kurang tepat dalam melakukan koding, untuk itu antara Dokter dan Coder harus lebih bersinergi.
Untuk itu peranan coder berkompeten sangat diperlukan guna mendapatkan hasil klaim yang optimal tanpa menyalahi kaidah yang berlaku di era pembiayaan pelayanan rumah sakit. Koder yang profesional harus didasarkan pada pendidikan perekam medis yang memadai. Khususnya pada materi ICD- 10,” ujar Rawi Miharti. ICD-10 adalah suatu klasifikasi dan kodefikasi penyakit secara internasional yang sudah diterapkan di Indonesia sejak 1997.
Oleh: Ratih Kumala Dewi, M.Kes – Ketua Prodi S1 MIK Universitas Karangturi