Tulisan ini diwali dengan pertanyaan “Sudahkah kita mengasihi diri sendiri?”
Mari berhitung berapa kali menyalahkan diri sendiri atas ekspektasi yang tidak dapat terealisasi, atas goals yang tidak tercapai, dan atas beberapa rencana yang gagal. Padahal, kegalalan adalah hal wajar, dimana setiap manusia pernah mengalaminya. Perasaan sedih, marah, tidak berharga, merasa gagal serta perasaan-perasan negatif juga dirasakan oleh manusia lain, and it makes us human.
Sangat wajar apabila terdapat momen atau rencana dalam hidup yang tidak berjalan sesuai harapan. Sehingga tidak perlu merasa bersalah dan mengkritik diri secara berlebihan. Seringkali lebih mudah bagi kita menunjukkan kasih sayang, kehangatan, dan empati kepada orang lain ketika mereka sedang dalam kesusahan. Namun, gilirian diri sendiri yang dilanda keterpurukan, kita seolah-olah berubah menjadi tim opposite yang memberikan kritik, menyalahkan bahkan menghukum diri sendiri. Jika dilakukan berulang kali, seseorang dapat mengalami penurunan kesejahteraan psikologis.
Oleh karenanya self-compassion dikenalkan sebagai salah satu konsep yang bisa memahami dan menyadari makna dari sebuah kesulitan menjadi suatu hal yang positif. Neff & Germer (2007) mendefinisikan self-compassion sebagai kebaikan hati dan pemahaman yang timbul dari diri dengan melibatkan perilaku yang sama terhadap diri sendiri ketika sedang dalam kesulitan, kegagalan, atau mengingat suatu hal yang tidak disukai. Self-compassion dapat membantu seseorang terbuka terhadap hal buruk yang sedang dialami, tidak menghindari atau memutuskan hubungan dengan orang lain, dan pada akhirnya dapat menyembuhkan diri dengan hal-hal yang baik.
Konsep self-compassion memiliki tiga aspek penting diantaranya self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Aspek pertama dalam self-compassion adalah berbuat baik kepada diri sendiri ketika terdapat kesalahan atau kegagalan. Self- kindness dapat berupa simpati terhadap diri ketika mengalami kesulitan, memberikan kesadaran bahwa ketidaksempurnaan, kegagalan bisa terjadi pada setiap orang, sehingga seseorang bisa memberikan respon ramah pada diri sendiri ketimbang marah dan menyalahkan diri. Aspek kedua dari konsep self-compassion adalah common humanity, meliputi keyakinan bahwa pengalaman menyakitkan adalah bagian dari kehidupan yang dialami oleh setiap manusia. Ketika seseorang gagal, mengalami kehilangan dan penolakan, dipermalukan, atau menghadapi hal-hal negatif lainnya, mereka sering merasa bahwa pengalaman tersebut hanya terjadi pada diri mereka. Padahal kenyataannya, setiap orang juga mengalami masalah dan penderitaan tersebut. Jangan pernah merasa gagal sendiri dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan. Common humanity memberikan kesadaran bahwa setiap manusia memiliki pengalaman menyakitkan dan hal tersebut wajar terjadi dalam siklus kehidupan, sehingga tidak perlu merasa terasing ketika mengalami hal-hal buruk.
Aspek ketiga dari konsep self-compassion adalah mindfulness, melibatkan perspektif yang seimbang dalam menghadapi situasi sehingga tidak terbawa oleh emosi. Ketika dihadapkan dengan pengalaman menyakitkan dan situasi sulit dalam hidup, seseorang dengan self-compassion yang rendah cenderung memikirkan hal-hal negatif dari situasi yang dialami dan merasa terpuruk dalam emosi mereka. Sebaliknya, seseorang yang memiliki konsep self-compassion mampu mempertahankan sudut pandang yang utuh ketika mengalami kesulitan hidup. Mindfulness membantu seseorang untuk fokus dan memperhatikan perasaannya dan bersikap welas asih pada diri sendiri di momen-momen sulit dalam kehidupan.
Self-compassion bisa menjadi sumber koping yang tepat ketika seseorang mengalami kesulitan dalam hidup. Dengan menerapkan konsep self-compassion seseorang diharapkan dapat berdamai dengan masalah yang sedang dihadapi tanpa berlarut-larut meratapinya.
Shofwatun Amaliyah, S. Psi., M. Si. – Dosen S1 Psikologi UNKARTUR